DENGAN OVO & GOPAY ? ATAU VIA PULSA ? AYO RASAKAN !! BERMAIN JUDI ONLINE FAIR PLAY NO.1 SEINDONESIA !! HANYA DI POKER757 !!.

Semoknya Tubuh Pembantuku Yang Menggiurkan

No Comments
Semoknya Tubuh Pembantuku Yang Menggiurkan
Semoknya Tubuh Pembantuku Yang Menggiurkan
         Cersex - Malam itu tas dan koper mulai ditata di dalam ruang bagasi mobil, termasuk beberapa kardus oleh-oleh yang akan diberikan kepada kakak istriku di Semarang. 

"Di jadwal penerbangannya sih jam sebelas, tapi sebaiknya kita berangkat dari sini sekitar jam tujuh pagi untuk mengantisipasi macet, dan lain hal.." terang istriku, sambil mengatur posisi beberapa kardus didalam bagasi mobil.

"Sebenarnya aku merasa enggak enak juga sama keluarga mbak Diyah, tapi mau gimana lagi, urusan proyek enggak mungkin bisa aku tinggal.." ujarku, sambil membantu mengangkat beberapa barang.

"Enggak apa-apa pa, nanti akan mama jelaskan sama mbak Diyah, pasti mereka akan mengerti koq.. Oh iya pa, besok si Titin kita suruh cuti aja ya selama aku dan anak-anak di Semarang.."

"E-hmm.. Jadi selama empat hari aku harus menyiapkan makanan, mencuci dan membereskan rumah sendirian nih..." sindirku.

"Ya, enggak gitu juga lah pa... Lagiankan baju papa untuk empat hari sudah siap semua, makanan tinggal diangetin, kalau papa enggak cocok tinggal order go-food, paling-paling cuma masak nasi.... Kurang baik pa, seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya tinggal hanya berdua dalam satu rumah.. Bukannya mama enggak percaya sama papa, tapi memang sebaiknya seperti itu..." terang istriku.

"Iya, papa mengerti koq ma... Jadi besok pagi si Titin sekalian kita antar saja sambil menuju bandara.." usulku.

"Oh iya, betul juga tuh..." setuju istriku, seraya menutup pintu belakang mobil jenis SUV setelah dirasa barang-barang yang akan dibawa telah masuk semua. 

Sekitar jam tujuh kami meluncur menuju bandara Soekarno-Hatta, setelah terlebih dulu mengantarkan Titin asisten rumah-tangga kami yang memang rumahnya tidak terlalu jauh dari komplek perumahan tempat kami tinggal.

"Turunkan saya disini saja bu, biar saya jalan kaki kedalem..." pinta Titin, dipinggir jalan tepat didepan gapura desa yang merupakan akses masuk menuju pemukiman dia.

"Biar sekalian sampai depan jalan masuk rumah kamu aja tin, kan masih jauh apalagi kamu bawa barang seperti itu" usul istriku. Memang setiap kali dia pulang biasanya istriku selalu memberikan sekedar oleh-oleh makanan untuk orang tua dan anaknya.

"Enggak apa-apa bu, nanti ibu terlambat naik pesawatnya.. Lagian saya masih mau mampir dulu ke pasar untuk beliin pesanan anak saya.." terang Titin.

"Ooww..kalau memang seperti itu ya sudah, hati-hati ya tin..." ujar istriku, seraya Titin turun dari mobil diikuti dengan mengucapkan terima kasih dan mendo'akan agar istri dan anak-anakku selamat dalam perjalanan.

Ya, istriku pergi untuk menghadiri pesta pernikahan putri dari kakak perempuannya, dan karena kebetulan saat itu adalah masa liburan sekolah, maka kedua anakku diajak. Hmm..sebetulnya ingin juga aku turut bersama mereka, tapi berhubung urusan pekerjaan yang tidak mungkin bisa ditinggalkan, terpaksalah aku harus rela untuk tinggal dirumah.

Istriku seorang wanita yang baik dan relijius, berusia 40 tahun, sedangkan aku berusia 45 tahun. Dalam usia perkawinan kami yang sudah memasuki tahun ke15, kami telah dikaruniai dua orang anak. Yang pertama laki-laki berusia 13 tahun dan yang kedua seorang anak perempuan berusia 11 tahun.

Sebenarnya waktu kami menikah dulu, istriku tidaklah serelijius ini. Dulu istriku tidak mengenakan hijab, bahkan sembahyangpun tidak. Saat awal-awal kami tinggal dikomplek ini, istriku sempat merasa tidak betah. Bergaul dengan ibu-ibu disekitar komplekpun istriku merasa kurang nyaman. 

Namun karena memang tidak ada pilihan, akhirnya istrikupun mau tidak mau ikut bergaul juga dengan mereka. Termasuk dengan terpaksa pula harus mengikuti kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu disitu, diantaranya adalah pengajian. 

"Ah, pergaulan disini ngebosenin banget... Enggak mau ikut takut dibilang sombong, ya terpaksalah...." keluh istriku saat itu.

"Ikutin aja kenapa sih, namanya bermasyarakat ya harus seperti itu... Jangan disamakan seperti di Jakarta dulu, dimana kamu bisa kongkow-kongkow di Cafe atau karaokean bersama dengan teman-teman SMAmu..." saranku, yang dijawab dengan rengutan wajahnya.

Tapi seiring jalannya waktu, lambat laun istriku mulai dapat beradabtasi dengan ibu-ibu dilingkungan itu. Sikapnyapun telah berubah, Shalatnya rajin, dan mulai mengenakan hijab, dan juga rajin bersedekah. Bahkan kalau aku perhatikan, istriku justru semakin mendalami ilmu-ilmu agama, dan aktif di majelis ta'lim. 


Jadi bukan hanya ikut-ikutan dengan beberapa ibu-ibu disekitar situ sekedar untuk dapat mengikuti irama pergaulan. Tentu saja sebagai suami aku sangat bersukur dengan perubahan istriku itu. Berbeda sekali saat kami masih tinggal di Jakarta dulu dimana istriku sangat komsumtif, dan gemar membelanjakan uang hanya untuk mendukung gaya hidup dan penampilannya, termasuk pakaian, salon, dan lain-lain. Terlebih teman-teman sepergaulannya adalah notabene teman-teman dia saat remaja dulu. 

Alasan untama hingga akhirnya kami tinggal dikomplek perumahan ini adalah karena dulu usahaku kurang berkembang dan cenderung mengalami kerugian, akhirnya rumah diJakarta yang adalah warisan dari orang tuaku kujual kepada kakakku, tentu saja aku tak mungkin menjualnya kepada orang lain karena rumah itu adalah peninggalan leluhur kami. 

Dan separuh dari hasil penjualan aku belikan rumah di komplek perumahan di kawasan Bogor yang sampai sekarang masih aku tinggali ini. Sedangkan separuh uangnya lagi kugabungkan dalam modal usahaku sebelumnya. Dan entah itu hanya kebetulan atau tidak, selama aku tinggal di Bogor usahaku semakin berkembang dan perekonomian kamipun semakin baik.

Istriku yang aktif diberbagai acara pengajian, ditambah lagi sering mendengarkan ceramah-ceramah agama baik itu ditelevisi ataupun di masjid, dan membaca buku-buku agama, tentulah pengetahuan agamanya semakin lebih baik bila dibandingkan dengan diriku yang dari pagi hingga sore hari bergelut dengan urusan pekerjaan. 

Dan wajar pulalah kalau dia sering menasehati aku, memberikan masukan-masukan tentang hidup secara Islami. Tentu saja aku selalu menerima dan mengikuti apa-apa saja yang dikerap diterangkannya padaku, termasuk soal hubungan suami istri, hubungan seks.

Istriku mengajarkan bahwa sebelum berhubungan badan itu ada do'anya dan setelah selesaipun juga ada do'anya. Bahkan saat aku bertanya kepada istriku mengapa sudah beberapa hari tidak pernah lagi mengoral penisku, menurutnya itu tidak dibenarkan dalam agama. Begitupun saat aku ingin mengoral vaginanya seperti yang biasa aku lakukan, istriku juga menolaknya, tentunya dengan berdasarkan dalil-dalil yang dia pelajari. 

Dan masih banyak lagi hal-hal tentang hubungan suami istri yang dia terangkan padaku, yang menurutku semua itu justru mengurangi ketertarikanku dengan seks, karena bagiku dalam hal seks itu harus bebas dan jujur, dalam artian kedua belah pihak dapat mengekspresikan hasrat dan keinginan seksualnya secara bebas dan jujur, bukan dikekang oleh aturan-aturan yang mengikat.

Yah, memang tidak semua hal harus mengenakan kita. Kadang ada hal-hal kecil yang harus kita korbankan untuk kebaikan yang lebih besar. Mungkin itu salah satu yang harus aku korbankan, kalau dulu kami saat berhubungan badan begitu bebas dan terbuka, artinya kami bebas mengekspresikan

birahi kami diatas ranjang tanpa adanya batasan-batasan, dan kami bisa melakukannya dimanapun, kadang dikamar, di dapur, di kamar mandi, dan lain-lain. Tapi sekarang, saat aku mengajaknya mandi bersama dan tentunya berhubungan badan didalam kamar mandi dia justru menolak, dengan alasan bahwa didalam kamar mandi tidak dibenarkan untuk berhubungan badan. Hmm..padahal dulu dia paling senang sekali bercinta didalam bath-tube.

Dan sekarang aku rasakan dia hanya berperan sebagai wanita yang melayani aku dalam berhubungan badan, hanya sebagai kewajiban seorang istri melayani suami. Bahkan sekarang dia hampir tak pernah klimaks saat kami berhubungan badan. Jauh sekali bila dibandingkan dengan dulu, dimana dia bagaikan kuda betina yang selalu minta dipuaskan, dan selalu agresif diranjang.

Ah, tak apalah, secara umum aku lebih memilih dia menjadi yang sekarang ini ketimbang yang dulu, bagiku sosok dia yang sekarang ini adalah sosok ibu yang baik untuk anak-anakku. Aku tidak bisa membayangkan bila anak-anak kami yang sudah sebesar sekarang ini memiliki sosok ibu seperti yang dulu yang sering keluar rumah bersama dengan teman-temannya, pergi ketempat yang tidak jelas terkadang mulutnya bau alkolhol setelah malam hari pulang ke rumah, dan kamipun sering bertengkar. 

Yah, memang sepatutnya aku bersukur, dan tak perlu harus menuntut sesuatu yang sebenarnya tak terlalu penting. 

Tak terlalu penting? Apakah benar kepuasan seksual itu tidak terlalu penting? Ah, mengapa pula aku mempermasalahkan soal kepuasan seksual, toh sampai saat inipun aku selalu mencapai orgasme bila berhubungan badan dengan istriku. Jadi artinya aku masih bisa merasa puas toh.

Hmmm... Tapi apakah itu betul, sepertinya itu hanyalah sebuah pernyataan yang menipu diri. Dan akhirnya mau tidak mau aku harus jujur pada diriku sendiri, bahwa dibalik perubahan positif pada diri istriku ternyata ada sesuatu yang telah terampas dari diriku.


Sekitar pukul satu siang aku telah tiba dirumahku. Tapi yang membuatku heran mengapa Tini pembantuku ada disini, dan dia pula yang membukakan pintu gerbang rumah kami.

"Koq kamu sudah berada disini lagi...?" tanyaku, setelah memasukan mobil kedalam garasi.

"Wah, saya kecele pak... Rupanya Emak sama anak saya pergi ke Garut, katanya ada pamili yang meninggal, terus rumah saya dikunci, dan kuncinya dibawa.. Terpaksalah saya balik kesini, habis saya mau tidur dimana lagi kalau bukan disini, mau numpang dirumah sodara enggak enak, rumahnya sempit.." terangnya. Kulihat beberapa barang dan bungkusan yang seharusnya dia bawa kerumah kini tampak menumpuk diteras rumah, lebih banyak jumlahnya ketimbang saat berangkat tadi, mungkin karena dia sebelumnya memang ke pasar terlebih dahulu untuk membeli tambahan oleh-oleh.

"Jadi semenjak pagi tadi kamu berada diteras saja?" karena memang rumah ini tadi sebelum berangkat aku kunci, kecuali pintu gerbang utama yang hanya ditutup saja grendelnya tanpa digembok. Mungkin dia masuk setelah melepas grendelnya dari luar melalui celah-celah besi, dan kemudian membuka pintu gerbang itu.

"Ya gimana lagi pak, mau masuk kedalem pintunya dikunci.. Jadi saya duduk-duduk aja disini.." jawabnya lugu.

"Mmmm... Ya sudahlah kalau begitu, mau gimana lagi..." ujarku, seraya aku memintanya untuk menyiapkan makan siang, tentunya setelah membuka pintu utama dengan menggunakan kunci yang sebelumnya memang sengaja aku bawa.

Saat tengah makan siang, kuterima telpon dari istriku yang memberi kabar bahwa mereka telah tiba dirumah kakaknya di Semarang. Tapi, sepanjang obrolanku tadi, entah mengapa aku tidak menceritakan padanya kalau Titin berada dirumah ini, yang artinya sekarang ini aku dan dia hanya berdua dalam satu rumah. Aku masih ingat waktu semalam dia bilang tidak baik laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya hanya tinggal berdua dalam satu rumah. Sebenarnya maksudku tidak memberitahukannya sekedar tidak ingin merusak suasana. Aku tidak ingin dirinya kecewa karena ternyata Titin kembali kesini.

Lantas, bagaimana nanti aku menjelaskannya kalau sepulangnya istriku nanti ternyata Titin memberitahu kalau dia tidak jadi cuti dan kembali kerumah ini. 

Kalau sekarang dia aku suruh pergi, Ah, sadis sekali, lalu dimana dia akan tidur malam ini, sedang rumahnya dikunci. Ah, biarlah.. Bagaimana nanti saja.

"Ini air minumnya pak..." ujar Tini, sambil meletakkan segelas air putih yang baru saja aku pinta.

Hmmm.. Kalau dipikir-pikir wajar juga jika istriku tidak suka aku berdua dengan si Titin ini. Titin tergolong cantik dan manis, usianya yang sekitar 35 tahun terlihat matang dan menggairahkan. Tubuhnya montok berisi dengan kulitnya yang kuning langsat. Buah dadanya besar menantang. Apalagi saat dia mengenakan daster yang berbahan katun tipis seperti sekarang ini. Saat dia berdiri didepan pintu, cahaya dari luar memantulkan bentuk tubuh dalamnya yang semok. 

Hmm..kenapa dia hanya mengenakan daster dan melepas hijabnya pula. Setauku sudah tiga bulan ini istriku menyuruhnya mengenakan hijab. Ya, semenjak istriku mendalami agama dia juga meminta pembantu rumah tangga kami untuk mengenakan hijab, walaupun sebenarnya sejak enam bulan pertama Titin bekerja disini, dia memang bukanlah wanita yang berhijab. Padahal aku sudah menyarankan pada istriku, bahwa tidak baik memaksakan hal yang seperti itu, bahwa memakai hijab atau tidak itu urusan pribadi dia, kita tidak punya hak untuk memaksanya, tapi istriku malah berkata : 

"Aku tidak memaksanya, aku hanya menyarankan dan menasehatinya, itukan untuk kebaikan dia juga.." 

akhirnya aku hanya diam sambil menghela nafas, dan keesokan harinya pembantuku itu sudah mengenakan jilbab dikepalanya, walaupun aku tak sepenuhnya yakin kalau Titin melakukan itu dengan kesadaran diri dan ihklas, aku lebih cenderung yakin bahwa dia melakukan itu sekedar rasa sungkan dan menghormati istriku belaka.

Secara jujur, dengan tanpa jilbab seperti sekarang ini wajahnya memang lebih menggoda, dengan tahi lalat didagu mengingatkan aku dengan penyanyi dangdut senior Elvi sukaesih, apalagi dengan rambutnya yang diikat dengan penjepit rambut seperti saat dia menyapu lantai seperti sekarang ini, mempertontonkan leher putihnya yang jenjang. 

Ya, aku baru ingat si Titin ini memang mirip sekali dengan Elvi sukaesih waktu masih muda, yang kemarin dulu sempat aku tonton filmya di salah satu setasiun tv saat dia main bersama Warkop Prambors, dimana dia berperan sebagai pembantu rumah tangga, kalau enggak salah judul filmnya "mana tahan", yang merupakan film pertamanya warkop, dan kebetulan hingga saat ini aku memang suka dengan film-film komedi warkop.

Ah, belahan buah dada itu, tubuhnya yang menunduk karena dia tengah menyapu membuat belahan bukit kembar itu mengintip genit.

Ah, sialan... Ternyata dia menyadari kalau aku memperhatikannya. Kulihat dia tersipu malu saat aku salah tingkah kedapatan memperhatikan buah dadanya.

Kini dia melanjutkan menyapu, namun dengan tangan kiri memegangi bagian atas dadanya, sepertinya agar bagian atas dasternya itu tidak menganga saat dia menunduk.

Selesai makan aku bersantai sambil menonton tivi diruang keluarga. Kulihat Tini tengah mengelap kaca jendela dengan kemoceng bulu ayam.

"Udahlah, santai aja tin... Kamu kan sekarang seharusnya cuti, jadi gak perlu kerja seperti biasanya.. Yang memang kelihatan enggak pantas saja yang perlu kamu bersihkan... Lagian itu jendela masih bersih koq..." saranku.

"Abis iseng juga kalau enggak kerja pak, masa' jam segini mau tidur kan gak enak..." jawabnya.

"Ya udah, nonton tivi disini sajalah... Kita ngobrol-ngobrol aja..." Ah, apa pula maksudku mengajak pembantu ngobrol.

"Ah, si bapak... Mau ngobrol apaan...?" jawabnya malu-malu.

"Ya, ngobrol apa keq... Kebetulan saya juga lagi iseng gak ada temen nih... Tadi kamu juga bilang, iseng kalau enggak kerja... Makanya kita sama-sama lagi iseng, mending kita ngobrol sambil nonton tivi... Ayo duduk sini.." ujarku, sambil menepuk jok sofa ditempatku duduk.

Akhirnya dia duduk disebelahku, tepatnya disofa tempatku duduk, namun dia duduk agak kepojok sehingga berjauhan denganku yang juga duduk disudut berlawanan.

"Nah, gitu dong..." ucapku, kepada Titin yang duduk malu-malu dengan masih memegang kemoceng ditangannya.

"Orang tuamu itu koq enggak telpon kamu sih kalau dia mau pergi ke...kemana tadi..? ke Tasik ya...?" tanyaku sekedar untuk membuka pembicaraan.

"Ke Garut pak... Iya pak, Enggak tau juga tuh, waktu saya telpon anak saya sih, gak sempet nelpon karena pulsanya abis.. Gitu katanya.. " 

"Oooww, begitu... Susah juga ya..." ujarku diikuti dengan meneggak air putih untuk sekedar menenangkan perasaanku. Ah, menenangkan perasaan? Sejak kapan aku merasa gugup hanya karena berbicara dengan seorang pembantu rumah tangga. 


Tapi kenyataannya aku memang gugup. Biasanya seseorang merasa gugup jika ingin melakukan suatu tindakan yang berpotensi menimbulkan resiko yang cukup besar bagi dirinya, seperti mencuri misalnya, atau membunuh. Iya, tapi aku tidak berniat untuk melakukan semua itu, aku cuma...cuma ingin tidur dengan pembantuku itu, ingin menikmati tubuh montok pembantuku ini.... Astaga, tentu saja itu perbuatan yang sangat beresiko. Resiko yang kupertaruhan sangat besar, yaitu kepercayaan istriku. Ah, itulah mungkin hal yang membuat aku merasa gugup seperti sekarang ini. Ah, tidak.. Aku yakinkan diriku bahwa aku tidak berniat untuk mengajaknya tidur, kecuali hanya mengajaknya ngobrol.

"Oh iya, ngomong-ngomong kamu koq enggak pakai jilbab tin, tumben.. setau saya sudah hampir tiga bulan ini kamu selalu mengenakan jilbab..." kulihat dia tampak gugup dan salah tingkah dengan pertanyaanku barusan.

"Mmm... Anu pak.. Mmm..gimana ya... Enggak betah aja.. Gerah pak.. Ribet.."

"Udah, kamu nyantai aja, gak usah tegang dan gugup begitu... Saya sih gak masalah koq, kamu mau pakai jilbab atau tidak, itukan hak kamu... Saya justru lebih suka ngeliat kamu enggak pakai jilbab. Lebih alami dan lebih jujur..."

"Mmm... Iya sih pak, saya sebetulnya maunya begitu, cuma enggak enak aja sama ibu.."

"Ya sudah, kalau ada istriku dirumah kamu pakai lagi jilbabmu... Tapi kalau sekarang sih, terserah kamu lah..." dia hanya mengangguk menanggapi ucapanku itu.

"Oh iya tin, ngomong-ngomong anak kamu sudah kelas berapa?"

"Kelas 3 SMA pak.. Sudah 18 tahun.."

"Memangnya kamu nikah umur berapa sih, koq kamu keliatannya masih muda tapi anak kamu sudah18 tahun..?

"Wah, dulu saya menikah masih umur 17 tahun pak.." 

"Ooww..begitu, Kasian ya tin, anakmu harus jadi anak yatim..." 

"Ya, begitulah pak... Udah takdir, namanya juga suami saya sopir, matinyapun waktu lagi nyopir...lagi nyari duit..." memang sebelumnya aku sudah dengar dari istriku, kalau Titin adalah seirang janda yang ditinggal mati suaminya karena kecelakaan, dimana mobil truk yang dikendarainya masuk ke jurang.

Akhirnya untuk beberapa saat kami saling mengobrol, mungkin sekitar 10 menit Titin bercerita tentang pengalaman hidupnya, hingga suasanapun menjadi semakin cair, dan akupun tidak lagi setegang tadi, apalagi ada beberapa cerita Titin yang menurutku lucu yang membuat kami tertawa.

Hingga pada suatu kesempatan,

"Kamu sudah 5 tahun menjanda seperti ini koq tahan ya tin... Apa enggak kepingin untuk menikah lagi..?" 

"Sebetulnya ada juga sih pikiran kesana, tapi setelah saya pikir-pikir, juga ditambah lagi pengalaman dari temen-temen saya, biasanya laki cuma suka sama kitanya aja, kalau sama anak kita sih enggak, kalau gitu kan nanti kasian anak saya, jadi enggak ada perhatian..."

"Iya juga sih..." ujarku.

"Sekalinya ada yang sayang sama anaknya, eh malah digarap juga anaknya.."

"Maksudnya?" tanyaku, karena belum paham sepenuhnya apa yang dia maksud.

"Iya, ada tetangga saya.. ibunya dikawinin, anaknya ditidurin juga..."

"Astaga... Jadi anak tirinya digituin juga...Wah, itu sih namanya beli satu dapet dua...ha..ha..ha.." 

"Ih, bisa aja si bapak.... Apalagi anak saya juga perempuan, mana anak saya cakep lagi.. Saya takutnya nanti anak saya digarap juga, berabe saya..."

"Ya enggak apa-apa lah... Nanti malah bisa main bertiga, kan asik ha..ha..ha..."

"Ih gelo, si bapak bisa aja nih..." ujar Titin dibarengi dengan mencubit perutku.

"Aawww... Sakit tau..." ujarku, dan kubalas mencubit perutnya.

"Aaaawww... Si bapak...geli pak...hi..hi..hi..." pekiknya, sambil kedua tangannya memegangi tanganku.

Dengan sikapnya yang seperti itu, tentu saja aku semakin berani dan percaya diri. Yang sebelumnya kami duduk saling berjauhan kini semakin merapat, bahkan tubuh kami saling bersentuhan.

"Abis kamu duluan sih yang nyubitin aku..." ujarku, sementara kedua tangannya masih memegangi tanganku kawatir aku akan kembali menyubitnya.

"Abis bapak sih, yang enggak-enggak aja... Masa' main bertiga sama anak... Gelo ih si bapak.."

"Saya cuma bercanda.. Tapi asik lho main bertiga tin..." 

"Emang bapak pernah?"

"Ya belum pernah sih, tapi sering nonton aja di difilm-film begituan.." 

"Film bokep?"

"Lha iyalah, kalau di sinetron mana mungkin ada.."

"Bapak sering nonton film begituan ya? Enggak dimarahin sama ibu?"

"Ya, ngumpet-ngumpet lah tin.. Kalau kamu pernah enggak ?"

"Ya, pernah juga sih... Biasanya kalau lagi dirumah, nonton di vcd...hi..hi..hi.." jawabnya dengan malu-malu.

"Emang dapet vcd gitiuan dari mana?"

"Tau tuh, anak saya dapetnya dari mana..."

"Hah, dari anak kamu... Emang enggak kamu marahin.?"

"Ah, biarin ajalah.. Udah gede.."

"Jadi kamu nonton film begituan bareng sama anak?"

"Ya iya... Ya gimana lagi..?"

Tak terasa hampir setengah jam juga kami telah mengobrol ngalor-ngidul, dan sepertinya dia semakin terbuka padaku, dan juga tak sungkan-sungkan sesekali memegang pahaku saat bercerita. Setiap sentuhannya bagaikan mengandung setrum yang membuat gairah kelaki-lakianku bangkit. Kalau tak malu ingin rasanya kuterkam perempuan disampingku ini.

"Ngomong-ngomong selama 5 tahun janda, kamu enggak pernah begituan ya tin..?" tanyaku, tentu saja dengan telah begitu akrabnya kami, aku tak sungkan untuk menanyakan itu. Ditambah lagi pikiranku yang memang sudah ngeres karena terdorong oleh nafsu birahi.

"Ya enggak pernah lah pak, lha mau begituan sama siapa, suami aja enggak punya.."

"kirain sama gebetannya gitu... He..he..he.." ujarku cengengesan.

"Enak aja, selama janda saya enggak pernah punya pacar pak, apalagi gebetan.." jawabnya, sambil tangannya menepak pelan pahaku.

"Tapi, kamu apa memang enggak kepingin begituan..?" pancingku.

"Ya, sebetulnya sih kepingin juga pak, namanya juga saya perempuan normal... Tapi karena saya banyak kerja, ya keinginan itu bisa dilawan sendiri.."

"Kalau ada yang ngajakin gituan kamu mau enggak?"

"Emangnya siapa yang mau ngajakin..?"

"Mmm... Kalau saya yang ngajakin kamu mau enggak..?" Ah, akhirnya keluar juga maksudku sebenarnya.

Kulihat wajahnya bersemu merah mendengar perkataanku itu.

"Ih, bapak nih ngaco..."

"Saya serius lho tin..."

"Tapi bapak kan udah punya istri, itu sih namanya selingkuh... Saya enggak enak ah sama ibu, ibu kan orangnya baik...." terangnya, sambil memain-mainkan jari-jari tangannya. Aku yakin dari caranya dia berbicara itu dia hanya sekedar menguji kesungguhanku, atau untuk memastikan apakah aku memang bersungguh-sungguh untuk mengajaknya tidur, atau hanya sekedar menggoda saja.

"Ya enggak apa-apalah tin... Sekali-sekali selingkuh biasalah, namanya juga laki-laki.." jawabku, seraya kupegang pegelangan tangannya, dan telapak tangannya kuletakan pada selangkanganku yang terbungkus celana pendek training.


"Ih, si bapak ngeceng ih gelo..lhi..hi..hi.." kagetnya, namun entah mengapa tangannya itu justru meremas batang penisku, padahal aku tidak memintanya untuk meremas, aku hanya meletakannya saja diselangkanganku.

"Iya lah, gimana enggak ngaceng... Dari tadi saya nafsu banget sama kamu.."

"Ih, yang bener ah bapak, masa sih nafsu sama saya.. Istri bapak aja cantik, dan bapak juga ganteng..."

"Lha buktinya itu si otongku bangun.."

"Iya juga sih... Ya ampun, ini si otongnya koq gede banget ya pak... Ya Alooh, gila euiy....Bikin gemes..." ocehnya sambil terus meremasi batang penisku yang masih terbungkus celana pendek.

Dan tangankupun sudah mulai berani menerobos masuk melalui celah-celah dasternya, lalu meraba-raba bagian paha montoknya, dan diapun sama sekali tidak melarangnya. Bahkan dia hanya melirik sesaat kearah tanganku yang tengah bergerilya, lalu tersenyum padaku.

Tentu saja dengan reaksinya yang "wellcome" seperti itu semakin membuatku berani, dan kini tanganku mulai meraba celana dalamnya.

Dan dia melotot kaget saat tanganku menelusup masuk kebalik celana dalamnya. Kurasakan tanganku meyentuh bulu-bulu kasar. Saat kudorong sedikit tanganku, kurasakan keratan daging lembut yang kuyakin itu adalah klitorisnya.

"Adeeeeehhhhh.... Geli pak, tapi enak..Aaaahhhh..." erangnya, saat aku memain-mainkan klitorisnya itu dengan ibu jari dan telunjukku.

"Kamu buka aja celana aku tin.." pintaku, karena Titin hanya meremas-remas penisku yang masih terbalut celana pendek berbahan kaos.

"Hi..hi..hi... Dari tadi saya juga penasaran pak, tapi mau saya buka sendiri gak enak.. Takut disangka gak sopan...hi..hi..hi..." girangnya, yang langsung dilucutinya celana pendekku, langsung dengan celana dalamnya sekaligus.

"Ih gelo... Gede pisan... Hi..hi..hi... gede banget pak... Mantep pisan...hi..hi.." Aku hanya senyum-senyum saja melihat tingkahnya itu, sekaligus bangga juga bagaimana dia sepertinya begitu mengagumi batang penisku.

" Iiihhh.... Bikin gemes kontol gede begini sih pak.... Eh, maaf ya pak...saya ngomong kontol...eh kontol..eh ngomong kontol lagi tuh...maaf deh pak, kalau lagi seneng saya suka latah...hi...hi..hi.." 

"Gak apa-apa tin, kamu boleh ngomong apa saja... Saya malah lebih suka kalau kamu ngomong yang jorok-jorok kayak gitu..." istriku yang beberapa tahun belakangan ini begitu alim, sudah tak pernah lagi kudengar kata-kata vulgar dari mulutnya, sehingga aku merasa rindu mendengar kalimat-kalimat vulgar dan mesum keluar dari mulut seorang wanita. Entah mengapa kata-kata jorok atau vulgar yang dilontarkan oleh wanita terdengar seksi dan menggairahkan bagiku.

"Tapi baju kamu dibuka juga ya tin, supaya aku bisa ngeliat memek kamu.." pintaku. Sengaja aku tekankan kata memek agar dirinya tau bahwa aku juga lebih suka menggunakan kata-kata seperti itu.

"Tapi sebelumnya, pintu sama hordeng jendelanya ditutup aja tin, sekalian dikunci aja.." pintaku, tentu saja keasikanku diruang santai ini tak ingin terganggu dengan masih terbukanya pintu dan jendela. 

Selepas menutup pintu dan jendela, iapun berdiri didepanku untuk melepas dasternya. Begitu ditubuhnya hanya tersisa celana dalam dan kutangnya, kulihat dia tersipu-sipu malu dan salah tingkah


"Wah, body kamu seksi banget tin, montok dan mulus lagi.. Saya jadi gemes nih.." pujiku, dengan maksud agar pujianku itu membuat sikapnya lebih percaya diri. Namun sejujurnya yang aku katakan itu memang apa adanya, dalam artian tubuh pembantuku ini memang montok, gempal dan kuning mulus. Bokongnya yang sebesar tempayan serta buah dadanya yang juga besar membuatku menelan ludah.

"Ayo dibuka semuanya tin, telanjang aja..." 

Seperti yang aku pinta, akhirnya dengan masih sambil berdiri didepanku, dilucutinya beha dan celana dalamnya.

"Ah, gila tin kamu super sekali... Body kamu yahud.. Memek kamu juga tembem nih... Duh, itu tetek apa jeruk bali...."ocehku, seraya kubuka t-shirt yang masih melekat dibadanku hingga akupun juga telanjang bulat.

Titin sudah kembali duduk disampingku sambil tangannya mengelus-elus batang penisku.

"Saya isep-isepin boleh enggak pak, abis saya gemes banget ngeliatnya.." pintanya, dengan ekspresi yang masih malu-malu.

"Tentu saja boleh tin, saya senang sekali kalau kamu mau ngisepin kontol saya..." bagaimana aku tidak senang, setelah lebih dari dua tahun istriku tidak pernah lagi mengoral batang penisku. Tentu saja tawarannya itu bagiku bagaikan mendapat durian runtuh.

"Hi..hi..hi... Makasih ya pak..." ucapnya, dengan ekspresi wajah yang terlihat senang. 

back to top